Contoh Flash Fiction Terbaru
- Get link
- X
- Other Apps
Hai sobat penaku,
Salam literasi,
Kali ini aku bakal posting salah satu contoh cerita flash fiction buatanku sendiri.
Cerita ini, dibuat dalam rangka mengikuti event #ruang_bagibuku di facebook. Dan alhamdulillah, terpilih sebagai pemenang. Cerita ini terdiri dari 1000 kata sesuai ketentuan event.
Lagsung saja ya.. Ini ceritanya... Maafkan jika belum wauww. Karena sama-sama masih belajar.
JUDUL : SORRY
OLEH : IRMA NOVI DAMAYANTI
Apa arti mencintai, ketika hati tidak pernah memiliki? Bukankah cinta adalah dua rasa yang saling bertemu? Atau, hanya sebuah istilah yang tak berbalas? Bagaimana jika hati terus mengejar, namun cinta tak pernah mendengar?
“Yogyakarta, 26 November 2017.” Aku membaca tulisan itu sekilas. Alisku terangkat naik, keningku berkerut. Mereka tidak salah soalkah? Tanyaku heran.
Sekali lagi aku membaca tulisan itu. Kali ini lebih detail. Mataku fokus menatap tiap huruf, berusaha mencerna apa maksud pertanyaan ini. Batinku masih memprotes tidak terima dengan soal aneh yang baru saja aku terima lima belas menit yang lalu. Terlalu aneh. Ayolah, bagaimana mungkin seleksi pemilihan Ketua OSIS menggunakan soal setidak masuk akal ini? Mana mungkin aku bisa menjawabnya. Itu sama saja mempermalukan diriku sendiri, mengingat jawaban dari kami-para calon Ketua OSIS-akan di bacakan di depan seluruh siswa. Tidak. Pasti ada konspirasi tingkat tinggi di sini, batinku menyangkal.
Lima menit berlalu lagi. Tidak ada perkembangan dalam kertas jawabanku. Masih kosong. Tanganku memainkan pulpen malas, mengetuk-ngetuknya di meja. Membuat suara berkelotok pelan di ruangan yang sangat hening ini. Sepuluh menit lagi waktu untuk menjawab soal akan selesai. Dan otakku masih saja belum menerima pertanyaan ini. Buntu.
Aku menghembuskan napas pelan, berganti mengamati sekitar. Ada lima siswa yang bernasib sama sepertiku. Satu dua di antaranya tersenyum dengan tangan memegang kertas masing-masing. Merasa jawaban mereka sudah benar. Selebihnya, sama sepertiku yang menatap jengkel kertas soal di meja. Tiga anggota OSIS lama berkeliling mengawasi kami. Panitia seleksi. Dan satu di antaranya aku mengenalnya. Dia Ray, sohib dekatku sekaligus rival abadiku, yang saat ini tengah tersenyum penuh arti padaku. Sebuah senyum peringatan untukku.
Aku menelan ludah kemudian, kembali menatap kertas soal, lalu berganti menatap Ray lagi. Astaga, bagaimana mungkin aku bisa selengah ini? Aku tahu sekarang. Soal ini pastilah Ray yang membuatnya yang ditujukan khusus padaku. Mengingat dalam pertemanan kami selalu ada permainan kecil, saling mengerjai satu sama lain. Dan ini jelas momen paling tepat untuk Ray menjebakku. Membuatku malu di depan umum. Bagaimana tidak? Di saat siswa lain mendapat pertanyaan tentang visi misi – yang aku tahu pasti dari briefing tadi pagi - untuk dibacakan, aku malah mendapat soal tentang cinta menyebalkan. Ray pasti sengaja melakukannya.
“Delapan menit lagi watu yang kalian miliki. Pastikan isi jawaban dengan benar. Karena kami membutuhkan calon Ketua OSIS yang benar-benar berkualitas.” Ray dengan gaya sok berkuasanya berkata tegas memperingatkan.
Aku mengatupkan rahang, berpikir keras. Baiklah, Ray, jika ini yang kamu mau, gumamku pelan sembari tersenyum sinis. Tanganku langsung bergerak menuliskan jawaban. Saatnya pembalasan.
***
Pukul sembilan pagi.
Aula sekolah tampak ramai. Seluruh siswa terlihat memadati setiap sudut. Sebuah podium terletak di tengah aula dengan Ray berdiri di atasnya. Di sampingnya berjejer tiga bendera, juga sebuah spanduk besar dengan tulisan Pemilihan Ketua OSIS tertempel di dinding belakang aula.
Aku menguap lebar. Menatap tidak peduli kerumunan siswa di sekitarku, dari tempat VIP yang disediakan khusus untuk calon Ketua OSIS – mengingat siswa lain hanya berdiri berdesakan. Sesekali suara tepukan tangan, seruan tertahan juga yel-yel penyemangat terdengar, saat visi misi calon selesai dibacakan. Membuat aula yang biasanya sepi tak berpenghuni, menjadi lebih hidup.
“Para guru yang terhormat, juga teman-temanku yang berbahagia. Tibalah saatnya untuk visi misi peserta seleksi yang terakhir ...”
“Ra pasti menang!” seseorang berseru, memotong Ray bicara.
“Amara is the best pokoknya!” yang lain menimpali.
“Baiklah, tenang semuanya! Sebanyak apa pun pendukungnya jika visi misi tidak dibacakan maka dianggap gugur. Kalian mengerti?” Ray bertanya tegas yang sontak saja dibalas dengan seruan tidak terima. Membuat wajahnya terlipat kesal.
Aku tertawa kecil melihatnya. Itu tadi suara pendukungku. Lebih tepatnya suara teman sekelas yang mendukungku. Sudah lama mereka sebal dengan Ray. Ketua OSIS sok kegantengan yang menyebalkan. Itu sebanya dua minggu yang lalu mereka kompak merayuku untuk mengikuti seleksi calon Ketua OSIS.
“Yang terhormat Kepala SMA N 1 Yogyakarta. Para guru dan karyawan yang saya hormati, serta teman-temanku yang berbahagia ...” Ray mulai bicara dengan suara lantangnya membacakan kertasku. Matannya sempat melirikku sekilas dan tersenyum kecil. Jantungku tiba-tiba berdebar.
“Hari ini, di momen paling penting SMA N 1 Yogyakarta. Di mana salah satu kunci masa depan sekolah ditentukan di sini, izinkan saya menyampaikan apa yang bisa saya tulis.” Aula mendadak menjadi hening. Semua mata tertuju pada Ray, yang saat ini tengah berdiri dengan kening terlipat. Aku tersenyum tipis. Sepertinya dia mulai paham.
Dua menit berlalu, Ray tetap diam mematung.
“Cepat bacakan!” seorang siswa laki-laki berteriak tidak sabaran.
Ray menoleh, wajahnya terlihat memerah. Tangannya gemetar. “Maaf aku tidak bisa,” ungkapnya lirih.
Senyap. Semua terdiam, termasuk diriku.
“Apa-apaan ini? Kenapa hanya punya Ra yang tidak dibacakan?” salah seorang pendukungku berteriak
“Ini curang! Cepat bacakan!” yang lain menuntut, menatap Ray garang.
Aku masih terdiam, memperbaiki anak rambut di dahi. Menatap puas pemandangan di depan. Lihatlah, Ray di sana. Berdiri dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Matanya menatap sekeliling, kemudian beralih menatap para guru, yang dibalas dengan gelengan tegas. Menatap teman-teman OSIS lama, berharap ada keajaiban. Sia-sia, jawaban mereka sama dengan para guru. Ini sudah konsekuensi Ray sebagai Ketua OSIS untuk membacakan jawaban para calon, sama seperti tahun sebelumnya.
“Apa itu cinta?” Ray mulai membaca, tangannya masih gemetar. Siswa lain menatap tidak percaya, bingung akan apa yang dikatakan Ray.
“Adalah suatu perasaan yang tidak pernah bisa dimengerti. Cinta tidak pernah salah, meskipun dia tidak membalas. Juga tidak pernah menjadi dungu, meski dia tidak mendengar. Cinta memang bukan tentang memiliki, namun usaha untuk selalu menjaga hati. Dan hari ini, aku ingin mengatakan sesuatu ...
“Bahwa aku sangat mencintai seseorang. Seseorang yang bahkan tidak pernah tahu jika aku menyukainya. Dia Amara. Seseorang yang kalian kenal dengan nama Ra.” Lirih Ray menyelesaikan kalimatnya sembari menatapku kesal.
Aku tertawa-kali ini cukup keras- membuat siswa lain ikut tertawa. Satu dua di antaranya malah sibuk bercuit-cuit, mendukung Ray. Para guru juga tertawa. Ini seru, sungguh. Bayangkan saja! Acara yang seharusnya khidmat, kini berubah 180°. Dengan Ray, sang Ketua OSIS sebagai bintang utama. Yang saat ini tengah nyengir lebar, canggung berdiri. Sempurna. Aku menang telak. Sorry, Ray. Kamu bukan lawanku, batinku bangga.
Yogyakarta, 26 Maret 2019
Nah, itu ya contohnya. Semoga bermanfaat.
Salam literasi...😊💞
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment